Kamis, 17 April 2014

LOTIM- setelah beberapa aksi penolakan dan demonstrasi warga dan pelaku wisata di sembalun terkait kenaikan tarif masuk ( entrance fee) menuju kawasan taman nasional gunung rinjani ( TNGR ) sejak 1 april 2014 lalu.pemerintah melalui balai Taman Nasional gunung rinjani memberlakukan penurunan tarif khusus untuk Taman Nasional rayon 3 NTB sejak 10 april lalu.

Sebelumnya  Sejumlah masyarakat sembalun yang menamakan dirinya Solidaritas Masyarakat Peduli Sembalun (SMPS) melakukan aksi damai di  resort Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Sembalun Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur  Selasa (1/4/2014).

Aksi ini merupakan bentuk penolakan masyarakat sembalun terhadap pemberlakuan peraturan pemerintah (PP) Nomor 12 tahun 2014 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian kehutanan.menurut mereka, PP tersebut merugikan masyarakat dan pelaku pariwisata yang ada di Kawasan TNGR.

tarif masuk TNGR yang lebih ringan dari tarif yang diberlakukan secara nasional sejak 1 april 2014 ini kini sudah mulai diberlakukan TNGR.yakni Rp.150.000 per orang per hari untuk wisatawan asing dan 5.000 untuk wisatawan nusantara/lokal.

Namun hal ini menurut pengakuan salah seorang staff bagian Pengendali ekosistem Hutan  TNGR resort sembalun.Hery sasongko ketika ditemui radar mandalika ditempat kerjanya (rabu,16 april 2014) menuturkan bahwa hingga kini masih saja muncul penolakan dari masyarakat sembalun dan sebagian besar pelaku wisata trekking di wilayah sembalun.

"Masih ada penolakan soal kebijakan tarif ini " tutur heri.

Tak hanya itu pemberlakuan kenaikan tarif juga perubahannya rupa-rupanya masih kurang tersosialisasi dengan baik,hal ini diakui beberapa wisatawan asing asal australia yang hendak mendaki gunung rinjani.salah satunya Brian Moller ( 33 th ) asal australia,ketika diwawancarai radar mandalika ia mengaku belum tahu soal kenaikan tarif tersebut,ia dan teman-temannya cukup heran menerima informasi ini ketika sampai di resort TNGR sembalun.

"Ini untuk yg ketiga kalinya saya mendaki gunung rinjani,dan saya kaget dengan tingginya tarif masuk TNGR yang sangat jauh dari sebelumnya"tutur brian dalam logat bahasa inggris kental australia.

Ia bahkan mencontohkan beberapa taman nasional dan gunung yg pernah ia kunjungi,tarif masuknya terjangkau dan pelayanannya sangat memuaskan,ini berbeda dengan di indonesia.misalnya di stromboli national park ,italia dan di Fraser Island australia.tambah Brian.

Mengenal Tanaman Ashitaba yang juga ada di Tanah Sembalun

Tanaman obat ashitaba (Angelica keiskei) sangat populer di negara asalnya, Jepang. Tanaman berdaun mirip seledri ini dipercaya memiliki kandunganantiaging, antiinflamasi, dan pencegah kanker. Getah pohon ini bermanfaat untuk terapi penyakit kanker.

Walaupun memiliki manfaat berjibun, di Indonesia tanaman ashitaba masih belum sepopuler di Jepang. Karena itulah sebagian besar produksi tanaman ini diekspor ke luar negeri. 

Salah satu petani yang membudidayakan tanaman ashitaba adalah Nizar Zulmi di Sembalun, Lombok Timur. Dengan luas lahan mencapai 1 hektare (Ha), Nizar dalam sebulan mengaku mampu menghasilkan 100 kilogram (kg) daun ashitaba kering.

Selain dijual dalam bentuk daun kering, ashitaba juga dijual dalam bentuk bubuk. "Biasanya yang meminta bentuk bubuk adalah pasar luar negeri. Dengan dimensi lebih kecil, biaya angkut lebih murah," kata Nizar. 

Daun ashitaba kering dijual dengan harga Rp 150.000 per kg, sedangkan dalam bentuk bubuk harganya Rp 160.000 per kg. Daun kering seberat 1 kg dihasilkan dari daun basah 15 kg. 

Tak hanya daun, getah tanaman ashitaba juga memiliki nilai ekonomis tinggi. "Harganya mencapai Rp 600.000 per liter," katanya. dalam sebulan, Nizar mampu mengumpulkan empat liter getah dengan omzet mencapai Rp 17,4 juta per bulan. 

Daun kering, bubuk, dan getah tanaman ashitaba dijual Nizar ke pengepul di Bali. Oleh pengepul di Bali, produk tanaman obat itu selanjutnya diekspor ke Jepang, Korea Selatan, dan Malaysia. "Hampir semua produk ashitaba di Bali berasal dari Lombok," tandas Nizar.

Sayangnya, pasca gempa dan tsunami yang melanda Jepang, membuat produknya yang berbau Jepang ikut terimbas. Walhasil, ekspor langsung ke Malaysia dihentikan karena kekhawatiran terkena imbas radiasi nuklir.

Selain Nizar, Ruslan Abdul Gani juga membudidayakan ashitaba. Lelaki yang juga asal Lombok Timur ini memiliki lahan mencapai 1 ha.

Dari lahan itu, Ruslan mampu mengumpulkan getah sebanyak 5 liter. Dari getah tersebut, dia mendapat penghasilan Rp 3,5 juta per bulan, sebab harga jualnya mencapai Rp 700.000. "Itu sudah termasuk ongkos kirim," kata Ruslan yang telah menjadi petani ashitaba sejak sembilan tahun lalu.

Selain pendapatan dari getah tanaman, Ruslan juga mampu memproduksi 50 kg daun ashitaba kering dalam sebulan. Daun ashitaba kering dijual seharga 
Rp 300.000 per kg termasuk ongkos kirim. 

Dengan harga jual tersebut, dia mendapat omzet per bulan mencapai Rp 15 juta. Produk-produk ashitaba lebih banyak dijual ke Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). "Saya jual ke pengepul di Mataram. Oleh mereka kemudian akan dijual lagi" ujarnya. 

Karena belum banyak dikenal masyarakat Indonesia, sampai saat ini baik Nizar maupun Ruslan masih mengandalkan penjualan melalui pengepul. Sama seperti pengepul di Bali, pengepul di Mataram juga mengekspor daun dan getah ashitaba ini. "Penjualan asithaba memang masih tergantung pada pasar ekspor" ujar Nizar.